Sistemik Lupus Eritematosus: Manifestasi pada Berbagai Sistem Organ
Artikel ini sudah dibaca 3269 kali!
dr. Johny Bayu Fitantra
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang dikenal sebagai lupus merupakan penyakit autoimun yang mana kerusakan organ serta selnya dimediasi oleh autoantibodi serta kompleks imun. Kondisi autoimun tersebut bersifat sistemik sehingga dapat menimbulkan manifestasi pada berbagai sistem organ.
Manifestasi SLE pada Sistem Muskuloskeletal
Sebagian besar pasien SLE mengalami poliartritis intermiten, yang bervariasi dari ringan hingga mengganggu aktivitas. Pada jaringan lunak terdapat pembengkakan dan tenderness pada sendi atau tendon. Umumnya poliartritis tersebut terjadi pada tangan, pergelangan tangan dan lutut. Deformitas sendi hanya terjadi pada sekitar 10%. Beberapa pasien dapat mengalami artritis yang mirip dengan rheumatoid arthritis (RA) dengan kriteria yang sesuai baik untuk lupus maupun RA. Jika nyeri tetap pada sendi tunggal, seperti lutut, bahu, pangul, dapat dipertimbangkan adanya nekrosis iskemik pada tulang terutama jika tidak ada manifestasi lain dari SLE yang sedang aktif. Prevalensi nekrosis iskemik tersebut meningkat pada penderita SLE terutama yang mendapatkan terapi steroid sistemik. Miositis dengan kelemahan otot, peningkatan kadar kreatin kinase, gambaran positif pada MRI, dan nekrosis maupun inflamasi otot pada biopsi dapat terjadi. Meskipun begitu, kebanyakan pasien mengalami mialgia tanpa adanya miositis.
Manifestasi SLE pada Kulit
Dermatitis pada lupus kita bedakan menjadi akut, subakut dan kronis. Lesi akut yang paling sering muncul adalah lesi kemerahan (eritema) yang sedikit meninggi (plak), fotosensitif dan kadang-kadang seperti bersisik. Lokasi lesi dapat terjadi di wajah (terutama pipi dan hidung atau yang sering dikenal sebagai butterfly rash), telinga, dagu, daerah V pada leher dan dada, punggung bagian atas dan lengan pada sisi ekstensor. Lesi tersebut dapat bertambah berat menyertai kejadian flare lupus yang bersifat sistemik.
Lesi subakut atau subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE) terdiri dari bercak-bercak kemerahan yang bersisik, mirip seperti psoriasis, atau lesi sirkular yang rata dengan batas kemerahan.
Lesi kronik pada lupus yang paling sering adalah discoid lupus erythematosus (DLE). DLE terjadi pada sekitar 20% penderita lupus. Namun, bukan berarti mereka yang mengalami DLE pasti memiliki lupus. Hanya sekitar 5% orang yang mengalami DLE memiliki SLE.
Lesi ini berbentuk sirkular, kasar, serta sedikit meninggi (plak). Pada tepi lingkaran bersisik, kemerahan dan hiperpigmentasi. Bagian tengah dapat mengalami atrofi serta depigmentasi yang menandakan bagian-bagian penunjang jaringan kulit telah rusak. Lesi kronik tersebut ditatalaksana dengan pemberian glukokortikoid topikal atau diinjeksi secara lokal serta antimalaria.
Lesi lain yang dapat terjadi pada SLE antara lain adalah urtikaria berulang, dematitis yang menyerupai lichen planus, bulae dan panniculitis (lupus profundus). Terkadang juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut atau hidung yang menyerupai sariawan atau aphtous ulcer.
Manifestasi SLE pada Ginjal
Pada ginjal, manifestasi lupus yang paling utama adalah nefritis. Nefritis merupakan salah satu penyebab utama kematian dalam dekade pertama penyakit lupus (selain infeksi). Pada sebagian besar pasien SLE, nefritis bersifat asimptomatik. Oleh karena itu, setiap pasien lupus atau dicurigai menderita SLE sebaiknya dilakukan pemeriksaan urinalisis.
Apabila pasien memiliki gejala klinis yang mengarah pada nefritis, direkomendasikan untuk dilakukan biopsi ginjal. Biopsi tersebut nantinya akan menjadi acuan dalam klasifikasi nefritis lupus pasien tersebut untuk kemudian dapat menentukan jenis terapi yang tepat. Klasifikasi tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas.
Pasien dengan ISN III dan IV biasanya memiliki kondisi hematuria mikro dan proteinuria (>500 mg per 24 jam). Kondisi tersebut nantinya dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik. Sebagian besar pasien dengan ISN II dan IV akan mengalami hipertensi.
Pada kondisi diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN), terapi imunosupresi agresif diindikasikan. Hal tersebut dikarenakan apabila DPGN tidak diterapi secara adekuat, dalam 2 tahun pasien dapat mengalami end stage renal disease (ESRD). Terapi tersebut mengkombinasikan antara glukokortikoid sistemik dengan obat sitotoksik. Terapi tersebut tidak digunakan apabila ternyata kerusakan yang terjadi sudah bersifat irreversible.
Sekitar 20% pasien lupus dengan proteinuria terutama nefrotik dapat memiliki perubahan pada membran glomerulus tanpa disertai gambaran proliferatif pada biopsi ginjal. Pasien dengan kondisi tersebut memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan DPGN. Namun, pasien dengan kelas V dan proteinuria yang dalam tingkat nefrotik, perlu diterapi sebagaimana pasien kelas III atau IV dengan gambaran proliferatif.
Manifestasi SLE pada Sistem Saraf
Manifestasi SLE pada sistem saraf dapat terjadi karena SLE itu sendiri maupun karena kondisi lain yang berkaitan dengan SLE. Kondisi lain tersebut misalnya adalah infeksi karena pasien mengalami imunosupresi atau efek samping terapi. Jika gejala berkaitan dengan SLE, harus dibedakan apakah kondisi tersebut disebabkan oleh kejadian yang bersifat diffus sehingga membutuhkan terapi imunosupresan atau karena adanya kondisi penyumbatan pada pembuluh darah.
Pada kejadian lupus saraf yang bersifat difus, gejala yang paling sering muncul adalah gangguan kognitif, termasuk kesulitan dalam hal memori dan penalaran. Sakit kepala juga sering muncul. Seringkali nyeri kepala tersebut sulit dibedakan dengan migrain atau tension type headache (TTH). Kejang dengan berbagai tipe dapat terjadi pada lupus, yang mana membutuhkan terapi antikejang dan imunosupresan.
Manifestasi SLE pada saraf dapat juga berupa psikosis. Namun, pada kejadian psikosis perlu dibedakan dengan psikosis yang diinduksi glukokortikoid. Psikosis tersebut biasanya terjadi pada minggu pertama terapi glukokortikoid dengan dosis harian ≥40 mg prednisone atau yang setara. Psikosis yang diinduksi glukokortikoid tersebut dapat mereda dalam beberapa hari sesudah glukokortikoid diturunkan atau dihentikan.
Kejadian lain yang penting pada manifestasi saraf adalah mielopati yang mana dapat berpotensi menyebabkan kecacatan. Pada kondisi tersebut, terapi standarnya adalah inisiasi terapi imunosupresan yang dimulai dengan glukokortikoid dosis tinggi.
Manifestasi SLE Terkait dengan Oklusi Vaskular
Prevalensi transient ischemic attacks (TIA), stroke, dan infark miokard meningkat pada pasien SLE. Kejadian tersebut terutama terkait dengan kondisi hiperkoagulabilitas dan kejadian trombosis akut.
Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh sumbatan fokal baik yang berkaitan dengan vaskulitis maupun tidak atau oleh emboli dari plak arteri karotis atau vegetasi fibrin pada endokarditis Libman-Sacks. Pemeriksaan untuk antifosfolipid antibodi serta untuk mencari sumber emboli perlu dilakukan untuk mempertimbangkan kebutuhan, intensitas dan durasi terapi antiinflamasi dan atau antikoagulan.
Selain itu, kondisi kronis dari SLE berkaitan juga dengan peningkatan kecepatan pembentukan aterosklerosis yang mana berkaitan dengan infark miokard. Peningkatan kejadian vaskular mencapai tiga hingga sepuluh kali, paling tinggi pada wanita <49 tahun. Hal lain yang berkaitan dengan peningkatan risiko aterosklerosis antara lain adalah usia yang lebih tua, hipertensi, dislipidemia, gangguan HDL, seringnya kekambuhan penyakit, dosis kumulatif atau harian glukokortikoid, dan kadar tinggi homosistein.
Apabila kejadian vaskular berkaitan dengan clotting, pilihan utama terapinya adalah antikoagulan jangka panjang. Selain itu, karena seringkali terjadi juga vaskulitis secara bersamaan, pada kondisi tersebut perlu juga pemberian imunosupresan. Terapi tambahan lainnya adalah pemberian terapi statin untuk menurunkan kadar LDL.
Manifestasi SLE terkait pada Paru
Manifestasi SLE pada paru yang paling utama adalah pleuritis baik disertai efusi pleura maupun tidak. Jika pleuritis yang terjadi masih ringan, dapat diberikan NSAIDs, tetapi apabila sudah lebih berat, perlu diberikan glukokortikoid jangka pendek. Infiltrat pada paru seringkali muncul sebagai manifestasi dari SLE yang sedang aktif. Pada gambaran radiologi, infiltrat tersebut sulit dibedakan dengan infeksi.
Manifestasi pada paru yang dapat mengancam nyawa seperti inflamasi interstitial paru yang menyebabkan terjadinya fibrosis, shrinking lung syndrome, dan perdarahan intraalveolar membutuhkan terapi imunosupresan agresif serta terapi suportif lainnya.
Manifestasi SLE pada Jantung
Manifestasi SLE pada jantung yang paling utama adalah perikarditis. Umumnya, perikarditis tersebut berespon baik terhadap terapi anti inflamasi dengan NSAIDs dan jarang menyebabkan tamponade jantung. Manifestasi lain yang lebih berat antara lain adalah miokarditis dan endokarditis fibrinosa pada penyakit Libman-Sacks. Keterlibatan endokardium dapat menyebabkan insufisiensi katup, terutama katup mitral atau aorta serta berkaitan dengan kejadian emboli.
Saat ini masih belum dibuktikan apakah pemberian glukokortikoid atau terapi imunosupresan dapat memberikan perbaikan pada miokarditis atau endokarditis, tetapi terapi yang diterapkan saat ini adalah pemberian steroid dosis tinggi beserta terapi suportif lainnya untuk gagal janung, aritmia atau emboli.
Manifestasi SLE pada Sistem Hematologi
Manifestasi SLE pada sistem hematologi yang paling sering adalah anemia atau penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Biasanya anemia tersebut bersifat normositik normokrom, yang menandakan penyakit kronik. Hemolisis dapat terjadi dalam onset yang cepat serta berat. Pada kondisi tersebut, terapi glukokortikoid dosisi tinggi efektif pada sebagian besar pasien.
Leukopenia juga umum terjadi, yang mana biasanya berupa limfopenia, bukan granulositopenia. Limfopenia jarang menjadi predisposisi infeksi sehingga apabila hanya limfopenia saja yang terjadi, tidak memerlukan terapi khusus.
Trombositopenia dapat terjadi secara berulang. Jika trombosit masih >40.000/uL tanpa disertai perdarahan abnormal, tidak diperlukan terapi khusus. Namun, pada beberapa kejadian awal trombositopenia yang berat, pemberian glukokortikoid dosis tinggi. cukup efektif untuk menanganinya. Misalnya adalah dengan prednison 1 mg/kgbb per hari atau yang setara).
Manifestasi SLE pada Sistem Gastrointestinal
Manifestasi SLE pada sistem gastrointestinal pada saat flare yang paling sering adalah mual, yang kadang kala disertai muntah dan diare. Selain itu, dapat terjadi juga nyeri perut difus akibat peritonitis autoimun dan atau vaskulitis usus. Pada saat SLE aktif, seringkali terjadi juga peningkatan penanda fungsi hati (SGOT/SGPT). Manifestasi tersebut umumnya membaik dengan terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat menjadi kondisi mengancam nyawa karena dapat terjadi perforasi, iskemia, perdarahan dan sepsis. Terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi jagnka pendek perlu diberikan.
Manifestasi SLE pada Mata
Manifestasi SLE pada mata yang paling umum adalah sicca syndrome atau Sjorgen’s syndrome dan konjungtivitis non spesifik. Kondisi tersebut jarang mengancam fungsi penglihatan. Namun, ada pula kondisi seperti vaskulitis retina dan neuritis optik yang dapat menyebabkan kebutaan dalam beberapa hari atau minggu. Pada kondisi tersebut, terapi glukokortikoid dosis tinggi direkomendasikan meskipun belum ada trial terkontrol yang memberikan bukti efektifitasnya. Selain itu, dapat terjadi juga masalah pada mata terkait dengan pengobatan SLE, yaitu katarak dan glaukoma.
Referensi
Hahn BH. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Systemic Lupus Erythemathosus. 19th ed. Amerika Serikat: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2124-34.