Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
disusun oleh Johny Bayu Fitantra
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau AIDS merupakan suatu pandemik global;. Pada akhir tahun 2009 didapatkan data bahwa terdapat 33,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Lebih dari 95% berada di negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Selain pada orang dewasa, HIV menjangkiti sekitar 2,5 juta anak-anak <15 tahun. Angka kematian global terkait HIV tahun 2009 adalah 1,8 juta, dengan 260.000 di antaranya <25 tahun.1
HIV merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel pada sistem imun sehingga merusak dan mengganggu sel-sel tersebut.1,2 Orang yang terinfeksi HIV lama kelamaan akan menjadi rentan terhadap infeksi karena sistem imun menjadi lebih lemah. Tahap lanjut dari infeksi HIV disebut sebagai acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). AIDS diartikan sebagai suatu kumpulan gejala atau penyakit yang timbul karena adanya penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan adanya infeksi HIV.3 Perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu 10-15 tahun. Obat-obatan antiretroviral diberikan guna menghambat perkembangan penyakit tersebut. 1
Resiko Penularan dan Transmisi HIV
HIV termasuk dalam jenis blood-borne.2 Virus ini dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi baik melalui anal maupun vaginal, transfusi darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, dan antara ibu ke janinnya selama masa kehamilan, melahirkan maupun menyusui. 1,2 Transmisi HIV melalui obat injeksi tidak harus secara intravena melainkan juga bisa melalui intramuscular maupun subkutan. 4 Penyebaran melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian terutama pada pengguna narkoba berperan besar bagi peningkatan angka kejadian HIV di Indonesia. 3
Penularan HIV dari ibu ke janin yang dikandungnya dapat terjadi selama trimester pertama atau pun kedua. Hal ini diketahui melalui analisis virologi pada janin yang mengalami abortus. Meskipun begitu kebanyakan penularan terjadi pada masa perinatal. Sekitar 20-30% terjadi sebelum kelahiran, 50-65% selama persalinan, dan 12-20% selama menyusui. 4
Jika tidak dilakukan terapi profilaksis dengan menggunakan antiretroviral pada ibu selama kehamilan, persalinan dan menyusui, serta profilaksis pada janin sesaat setelah persalinan, transmisi HIV bervariasi dari 15-25% pada negara maju serta 25-35% pada negara berkembang. Semakin tinggi viral load, kemungkinan terjadi transmisi lebih besar. 4
Meskipun HIV dapat diisolasi dari saliva pada sebagian individu yang terinfeksi, masih belum ada bukti yang meyakinkan yang menyatakan bahwa saliva dapat mentransmisikan HIV, baik melalui ciuman maupun eksposur lainnya. Saliva berisi berbagai antiviral endogen seperti IgA, IgM dan IgG spesifik HIV, yang dapat terdeteksi pada sekresi saliva individu yang terinfeksi. Sementara itu, masih belum ada bukti bahwa HIV dapat ditransmisikan melalui eksposur keringat, air mata, atau Turin.
Riwayat yang dapat mengarahkan pada kecurigaan adanya infeksi HIV antara lain adalah hubungan seksual yang tidak terproteksi seperti reseptif hubungan seks anal, partner seksual yang banyak, riwayat penyakit menular seksual, pengguna obat suntik yang bergantian, kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau cedera jarum suntik, dan bayi dari ibu yang terinfeksi HIV.2
Patogenesis dan Patofisiologi
HIV menyebabkan gangguan respons imun yang progresif dengan menyerang sel limfosit CD4+. Sel tersebut merupakan.3 Pasien yang terinfeksi HIV akan seumur hidup terinfeksi karena partikel virusnya bergabung dengan DNA pasien tersebut.
Awalnya, infeksi HIV tidak menunjukan tanda atau gejala tertentu. Namun, pada sebagian kasus terdapat gejala tidak khas yang muncul dalam 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejalanya tersebut antara lain adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah itu, dapat terjadi fase asimptomatik selama 8-10 tahun. Sebagian pasien mengalami perkembangan penyakit yang cepat, yaitu dalam sekitar 2 tahun sementara lainnya ada yang berkembang lambat (non-progressor).3
Saat kekebalan tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sudah semakin menurun, gejala-gejala infeksi oportunistik mulai muncul. Misalnya adalah penurunan berat badan, demam lama, rasa lemah, pembesaran KGB, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dan sebagainya. Tanda awal dari kerusakan system kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi luas HIV di jaringan limfoid. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.3
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, sebenarnya di dalam tubuhnya terjadi replikasi virus yang tinggi, sekitar 10 partikel setiap harinya. Replikasi tersebut disertai dengan mutasi dan seleksi sehingga dapat muncul HIV yang resisten. Limfosit CD4+ juga mulai mengalami kehancuran. Namun, produksi limfosit CD4+ hingga 109 sel setiap hari dapat mengkompensasi hal tersebut.
Perkembangan HIV dapat terjadi lebih progresif pada pengguna narkotika, terutama terkait dengan tingginya resiko infeksi hepatitis C pada kelompok tersebut. Penyakit penyerta berupa infeksi pada katup jantung juga lebih sering dijumpai pada ODHA pengguna narkotika suntik dibanding mereka yang tertular melalui jalur lain. Selain itu, makin lama penggunaan jarum suntik, makin besar juga resiko infeksi pneumonia dan tuberculosis. Adanya infeksi kuman penyakit lain akan mempercepat pembelahan HIV. Juga, terjadi reaktivasi virus di dalam limfosit T.3
Gejala dan Tanda
Berdasarkan manifestasi klinisnya, WHO mengklasifikasikan kasus HIV pada orang dewasa menjadi infeksi HIV primer, serta derajat 1 hingga 4. Infeksi HIV primer merupakan kondisi asimptomatik dengan sindrom retroviral akut. Sementara itu, pada derajat 1 sudah terjadi limfadenopati generalisata yang persisten. Namun, kondisi itu juga dapat asimptomatik.5,6
Pada derajat 2, penurunan berat badan <10% BB sudah terjadi. Gejala lain yang dapat muncul adalah infeksi pernapasan berulang, herpes zoster, angular cheilitis, ulkus pada mulut berulang, erupsi papul-papul yang gatal, dermatitis seboroik dan infeksi jamur pada kuku. 5,6
Pada derajat 3, penurunan berat badan sudah berat, lebih dari 10% BB. Diare kronis terjadi hingga >1 bulan. Demam persisten selama lebih dari sebulan dengan suhu >37°C, baik terjadi secara konstan maupun intermiten. Pada mulut terdapat kandidisis oral yang terjadi secara persisten. Dapat pula berupa leukoplakia oral berambut. Juga, adanya stomatitis ulseratif akut dengan nekrosis, peradangan gusi dan jaringan sekitar gigi-gusi. Tuberkulosis paru juga menjadi penanda dari klinis derajat 3 ini. Infeksi bakteri terjadi secara berat, baik berupa pneumonia, empyema, piomiositis, infeksi tulang-sendi, meningitis maupun bakterimia. Anemia yang tidak jelas sebabnya dengan Hb <8 g/dL, neutropenia (<500 sel/µ) dan trombositopenia dengan platelet <50.000 sel/µ) menjadi kelainan pada darah yang dapat terjadi. 5,6
Pada derajat 4, sudah terjadi wasting syndrome. Infeksi terjadi lebih berat serta muncul penyakit yang dapat berupa pneumositis pneumonia, pneumonia bacterial berat berulang, herpes simpleks kronis, kandidiasis esophagea/bronkus/paru/trakea, tuberculosis ekstra paru, sarcoma Kaposi, infeksi sitomegalovirus, toksoplasma pada SSP, ensepalopati HIV, kriptokokus ekstraparu, infeksi mycobacteria non tuberculosis diseminata, leukoensefalopati multifocal progresif, kriptosporodiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis diseminata, bakterimia salmonella non tifoid berulang, limfoma, karsinoma servikal invasive, leismaniasis diseminata atipikal, nefropati terkait HIV yang simptomatik, kardiomiopati terkait HIV yang simptomatik dan reaktivasi dari tripanosomiasis pada orang Amerika (dapat berupa meningoensefalitis atau miokarditis.5
Diagnosis HIV
Tes untuk HIV merupakan tes serologic untuk deteksi antibodi terhadap HIV maupun keberadaan virus. Deteksi adanya virus HIV dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetic dalam darah pasien. Di Indonesia, pemeriksaan yang biasa digunakan merupakan pemeriksaan antibody HIV yaitu dengan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Teknik pemeriksaan antibody lainnya dapat berupa teknik aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay.
Dalam perkembangan HIV, terdapat window period, yang mana antibodi terhadap HIV belum terdeteksi meski sudah terjadi infeksi HIV. Antibodi dapat mulai terbentuk dalam 4-8 minggu setelah infeksi. Jika seseorang memiliki resiko infeksi yang tinggi menunjukan hasil negatif, terutama dalam jangka waktu tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. 3
Berdasarkan tujuan dari pemeriksaan serta keadaan pasien, WHO merekomendasikan 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV. Pada strategi I hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Jika hasilnya reaktif, dianggap sebagai kasus infeksi HIV sedangkan jika negative dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagen yang digunakan untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi >99%. Strategi ini dapat diterapkan untuk keamanan transfuse dan transplantasi serta surveillance pada prevalensi HIV >10%. Sedangkan untuk keperluan diagnosis, strategi I diterapkan pada pasien yang sudah menunjukan gejala infeksi HIV/AIDS.3
Strategi II diterapkan pada pasien tanpa gejala dengan prevalensi HIV 10-30% serta untuk kepentingan surveillance dengan prevalensi HIV ≤10%. Strategi ini menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Sedangkan jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non reaktif, dilaporkan sebagai hasil tes HIV negatif.
Pemeriksaan kedua dilakukan dengan reagen yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya daripada pemeriksaan pertama. Jika hasil pemeriksaan kedua reaktif, dapat disimpulkan bahwa itu adalah kasus infeksi HIV. Namun, jika hasilnya non reaktif, pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Hasil dapat dilaporkan sebagai indeterminate jika kedua hasil pemeriksaannya tetap berbeda.3
Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Pasien disimpulkan mengalami infeksi HIV apabila pada ketiga pemeriksaan hasilnya reaktif. Jika ada hasil yang non reaktif, pasien dengan riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular HIV, disimpulkan sebagai equivocal atau indeterminate. Sedangkan jika tidak ada riwayat atau resiko tersebut, dilaporkan sebagai non-reaktif. Pada strategi ini, pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau teknikna serta spesifisitas yang lebih baik.3
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil reaktif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi dengan western blot (WB).3
Terapi Antiretroviral
Iniasi tatalaksana dini berkaitan dengan manfaat pada kondisi klinis dan pencegahan HIV, meningkatkan survival dan mengurangi insiden infeksi HIV dalam tingkat komunitas. Berdasarkan panduan terbaru dari WHO, semua orang yang sudah dikonfirmasi diagnosis HIV dengan CD4 ≤500 sel/mm3 direkomendasikan untuk mendapatkan terapi antiretroviral. Juga, perlu adanya prioritas pada mereka dengan tahap penyakit yang lebih berat atau CD4 ≤350 sel/mm3. Terapi antiretroviral juga direkomendasikan, tanpa mempertimbangkan hitung CD4+, pada pasien dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan penyakit hati berat, hamil-menyusui, anak-anak kurang dari 5 tahun yang hidup dengan HIV juga pada individu dengan pasangan HIV positif.7
Pada koinfeksi hepatitis B, terapi antiretroviral diinisiasi pada pasien dengan CD4+ ≤500 sel/mm3. Jika ada kondisi penyakit liver kronis yang berat (baik yang terkompensasi maupun yang tidak), ART diinisiasi berapapun hitung CD4+ nya. Pemberian ART pada orang dengan pasangan HIV positif bertujuan untuk mengurangi resiko transmisi HIV.7
Meski semua pasien TB direkomendasikan untuk mendapatkan ART, obat tersebut tidak segera diberikan segera setelah diagnosis TB. Obat TB diberikan terlebih dahulu, untuk selanjutnya ART diberikan setelah 8 minggu inisasi terapi TB. Namun, untuk pasien dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ART diberikan lebih cepat yaitu dalam 2 minggu pasca inisasi terapi TB.7
Regimen lini pertama untuk tatalaksana HIV menggunakan regimen yang disederhanakan, toksisitas lebih rendah, serta lebih efektif dengan pemberian kombinasi dosis tetap. Regimen berisi NRTI berupa TDF+FTC atau TDF+3TC ditambah dengan satu NNRTI berupa EFV menjadi pilihan untuk pasien dewasa, dan anak-anak lebih dari 3 tahun. Pada pasien dewasa regimen lini pertama alternative adalah sebagai berikut. 7
- AZT + 3TC + EFV
- AZT + 3TC + NVP
- TDF + 3TC atau FTC + NVP
Sedangkan regimen lini pertama alternative pada remaja usia 10-19 tahun dengan BB ≥35 kg serupa dengan orang dewasa, ditambah dengan pilihan kombinasi ABC + 3TC + EFV (atau NVP). 7
TDF= tenofovir; FTC=emtricitabine; 3TC=lamivudine; EFV=efavirenz; AZT=zidovidine; NVP=nevirapine;
Dosis dalam FDC untuk TDF dosis 300 mg, FTC tidak ada dalam FDC, tetapi tiap kapsulnya berisi 200 mg. FDC untuk 3TC tersedia dengan dosis 150 mg. Dosis AZT dalam FDC adalah 300 mg. Dosis EFV 600 mg. Dosis NVP dewasa pada FDC adalah 200 mg.8
Untuk pemantauan, pada awal inisiasi ART, pasien perlu diperiksa hitung CD4 nya. Selanjutnya, pemeriksaan ulang dilakukan setiap 6 bulan. Selain CD4, perlu diperiksa juga viral load HIV pada 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemeriksaan viral load berikutnya cukup dilakukan setiap 12 bulan. 7
Pada penderita HIV/AIDS terdapat suatu metode profilaksis infeksi oportunistik dengan pemberian kotrimoksasol. Kotrimoksasol diberikan segera setelah dinyatakan HIV positif, bila pemeriksaan hitung CD4 tidak tersedia. Pemberian kotrimoksasol dihentikan setelah 2 tahun apabila pasien mendapatkan ARV.
Sementara itu, jika tersedia pemeriksaan CD4, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3. Pemberian kotrimoksasol dihentikan apabila sel CD4 meningkat >200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali berturut-turut dengan interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV. Pada orang dewasa, dosis kotrimoksasol yang diberikan adalah 960 mg/hari dosis tunggal. Pemantauan perlu dilakukan apabila terdapat efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, ras, sindrom Steven Johnson, tanpa supresi sumsum tulang seperti anemia, trombositopenia, leukopeni dan pansitopeni. Juga, apabila dicurigai adanya interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit terkait HIV.9
ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Tujuannya adalah kutuk menilai kepatuhan pasien dalam minum obat dan menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV. 9
Jika terjadi hipersensitivitas kotrimoksasol, obat dapat mulai diberikan lagi setelah dilakukan desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi tersebut mencapai 70% pada ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. Namun, desensitisasi tidak boleh dicoba pada reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4).
Daftar Pustaka
- WHO. HIV/AIDS. Diunduh dari www.who.int/topics/hiv_aids/en/. Diakses 7 Desember 2013.
- Bennet NJ. HIV Disease. 2013. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview. Diakses 7 Desember 2013.
- Djoerban Z, Djauzi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: P.1825-9.
- Fauci AS, Lane HC. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorder. Vol 1. 18thed. New York: McGraw Hill; 2012. P.1506-87.
- AETC National Resource Center. HIV Classification: CDC and WHO Staging Systems. 2012. Diunduh dari http://www.aidsetc.org/aidsetc?page=cg-205_hiv_classification#t-2. Diakses 14 Desember 2013.
- World Health Organization. WHO Case Definitions of HIV for Surveillance and Revised Clinical Staging and Immunological Classification of HIV-Related Disease in Adults and Children; 2007
- WHO. Clinical Guidance Across The Continuum of Care: Antiretroviral Therapy. 2013. P. 90-135.
- WHO. Annex E: Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Infants and Children; 2013.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Oran Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.p. 9-13.