Imunodefisiensi
Artikel ini sudah dibaca 60561 kali!
Disusun oleh Gusti Rizky Teguh Ryanto, S.Ked
Imunodefisiensi merupakan defek pada salah satu atau lebih komponen imunitas tubuh yang dapat meninmbulkan gejala klinis, bahkan sampai mengancam nyawa.1,2 Terdapat beberapa karakteristik utama imunodefisiensi, yaitu memiliki hasil akhir berupa peningkatan suspektibilitas terhadap infeksi, peningkatan suspektibilitas terhadap kanker, peningkatan insidens autoimunitas, dan disebabkan oleh defek maturasi/aktivasi limfosit.Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi kelainan imunodefisiensi primer, yang hampir selalu ditentukan oleh faktor genetik, dan imunodefisiensi sekunder, yang dapat muncul sebagai komplikasi dai kanker, infeksi, malnutrisi, atau efek samping imunosupresan, radiasi, atau kemoterapi.3Berikut akan dijelaskan mengenai imunodefisiensi primer dan sekunder.
Imunodefisiensi Primer
Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan mempengaruhi bagian humoral dan/atau seluler dari imunitas adaptif (dimediasi oleh sel limfosit B dan T), atau dapat juga mempengaruhi mekanisme defensif dari imunitas bawaan (sel NK, fagosit, atau komplemen). Defek pada imunitas adaptif umumnya disubklasifikasikan pada komponen yang terutama terkait (sel B/T/keduanya).1 Akan tetapi, pembagian ini masih kurang jelas karena adanya keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain yang menyebabkan pembedaan antar komponen penyebab menjadi sulit. Walau umumnya dianggap cukup jarang, bentuk ringan dari imunodefisiensi primer ini dapat ditemukan di banyak orang. Sebagian besar imunodefisiensi ini bermanifestasi pada usia bayi (6 bulan-2 tahun) dan terdeteksi karena bayi mengalami infeksi rekuren. Berikut dijelaskan secara singkat berbagai kelainan imunodefisiensi yang paling sering ditemukan.1
Bruton’s Agammaglobulinemia
Kelainan ini ditandai oleh kegagalan prekursor sel B (sel pre-B dan pro-B) berkembang menjadi sel B matur. Hal ini disebabkan oleh adanya defek pada gen pada kromosom X (q21.22) yang mengkode tirosin kinase sitoplasma yang bernama Bruton tyrosine kinase (Btk).1 Btk dibutuhkan sebagai suatu signal transducerdalamrearrangement dari light-chain imunoglobulin sehingga komponen yang dibutuhkan untuk maturasi sel B lengkap. Penyakit ini paling sering ditemukan pada pria, walau terdapat kasus sporadik pada wanita. Penyakit ini mulai terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobulin maternal mulai habis, ditandai dengan adanya infeksi rekuren pada saluran pernafasan, terutama oleh Haemophilius influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Staphylococcus aureus. Infeksi Giardia lamblia juga dapat menjadi tanda dari keberadaan penyakit ini.1,3 Karakteristik utama dari penyakit ini meliputi :
– Absennya sel B di sirkulasi, serta penurunan level semua imunoglobulin di serum
– Kurang berkembangnya nodus limfa, Peyer’s patches, appendiks, dan tonsil
– Absennya sel plasma di seluruh tubuh
Umumnya penyakit ini diatasi dengan pemberian replacement therapy berupa imunoglobulin.1
Common Variable Immunodeficiency
Sesungguhnya CVI merupakan kumpulan dari berbagai penyakit yang memiliki beberapa kesamaan fitur pada pasien, yaitu hipogammaglobulinemia, yang umumnya mempengaruhi semua kelas antibodi tetapi dapat juga hanya menyerang IgG.1,3 Diagnosis CVI didapatkan setelah mengekslusikan penyakit lain. Belum ditemukan pola penurunan pada CVI yang familial. Berbeda dengan Bruton’s agammaglobulinemia, level sel B pada pada darah dan sel limfoid berada pada level mendekati normal, akan tetapi mereka tidak dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma, diduga karena adanya mutasi pada beberapa molekul seperti ICOS atau BAFF.1 Manifestasi klinis dari penyakit ini menyerupai Bruton’s agammaglobulinemia.1,3
Isolated IgA Deficiency
Imunodefisiensi primer ini cukup sering ditemukan, terutama pada ras kaukasian. Seseorang dengan kondisi ini akan memiliki level IgA yang rendah di serum dan yang disekresikan.1 Penyebabnya dapat disebabkan genetik maupun infeksi karena toksoplasma, measles virus, atau infeksi virus lain. Sebagian besar orang dengan penyakit ini tidak memunculkan simptom, akan tetapi karena IgA berpengaruh pada imunitas pada mukosa, terdapat kemungkinan lebih tinggi dalam terkena infeksi di traktus respirasi, gastrointestinal, dan urogenital. Defisiensi IgA ini disebabkan oleh kegagalan diferensiasi limfosit B naif menjadi sel penyekresi IgA oleh karena penyebab yang belum diketahui.1
Hyper-IgM Syndrome
Pada sindrom ini, pasien dapat memproduksi IgM tetapi mengalami defisiensi produksi IgG, IgA, dan IgE. Hal ini menyebabkan defek pada aktivasi respons imun oleh sel T helper, dimana maturasi sel B dalam menyekresikan imunoglobulin berbeda akn terhambat. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode CD40L pada lokus Xq26.1Secara klinis, seseorang dengan penyakit ini mengalami infeksi bakteri piogenik rekuren, serta memiliki suspektiblitias terhadap pneumonia yang tinggi.1
DiGeorge Syndrome
Sindrom DiGeorge merupakan suatu kondisi dimana terjadi defisiensi sel T karena kegagalan perkembangan pharyngeal pouch ketiga dan keempat, yang berkaitan dengan perkembangan timus, paratiroid, dan sebagian clear cell tiroid.1,3 Hal ini menyebabkan munculnya beberapa tanda sindrom ini, yaitu menurunnya level sel T, tetanus, dan defek jantung kongenital. Tampakan wajah, mulut, dan telinga dapat menjadi abnormal. Sindrom ini disebabkan karena delesi gen pada kromsosm 22q11.1
Severe Combined Immunodeficiendcy
Penyakit ini merupakan gabungan dari beberapa sindrom yang memiliki defek umum baik pada imunitas humoral dan seluler.3 Umumnya bayi yang terkena sindrom ini mengalami kandidiasis oral, diaper rash, dan kegagalan berkembang. Mereka juga sangat mudah terkena infeksi rekuren dan berat oleh banyak patogen, termasuk Candida albicans, P. jiroveci, dan Pseudomonas. Bentuk yang paling sering adalah yang disebabkan oleh defek kromosom X, dimana terjadi mutasi gamma-chain reseptor sitokin yang mengkode interleukin. Bila terjadi defek, maka bahkan mulai dari perkembangan limfosit pun akan terpengaruh.1 Sebagian besar kasus SCI lainnya diturunkan secara autosomal resesif, seperti pada defisiensi enzim ADA (adenosine deaminase) yang menyebabkan toksisitas limfosit T imatur. Pilihan penatalaksanaan utamanya berupa transplantasi sumsum tulang.
Wiskott-Aldrich Syndrome
Sindrom ini merupakan sindrom X-linked yang ditandai dengan trombositopenia, eksema, dan vulnerabilitas terhadap infeksi rekuren sehingga menyebabkan kematian dini. Terdapat deplesi limfosit T secara sekunder di darah perifer dan nodus limfe, dengan ketiadaan antibodi untuk polisakarida serta level IgM yang menurun. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen WASP pada lokus p11.23.1,3
Genetic Deficiencies of the Complement System
Umumnya defisiensi komplemen disebabkan oleh faktor genetik. Defisiensi komplemen yang paling sering adalah defisiensi komplemen C2, akan tetapi efeknya lebih kepada peningkatan suspektibilitas seseorang terhadap penyakit autoimun. Akan tetapi, defisiensi C3 juga dapat menyebabkan peningkatan suspektibilitas terhadap infeksi rekuren bakteri piogen.1,2 Defisiensi C5-9 menyebabkan adanya peningkatan kemungkinan infeksi Neisseria karena efek litik C5-9 hilang.3 Defek pada inhibitor komplemen C1 menyebabkan terjadinya angioedema pada kulit dan permukaan bermukosa.1
Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan berbagai kondisi. Penyebab yang paling sering adalah virus HIV.1,3 Secara umum, imunodefisiensi sekunder disebabkan oleh dua mekanisme utama, yaitu imunosupresi yang muncul akibat komplikasi dari penyakit atau keadaan lain, dan imunodefisiensi iatrogenik yang muncul sebagai efek samping dari suatu terapi atau perlakuan lain.
– Malnutrisi3Penyakit/keadaan yang dapat menyebabkan imunodefisiensi sekunder meliputi1,3:
Malnutrisi protein-kalori sering ditemukan di negara berkembang dan diasosiasikan dengan gangguan imunitas selular dan humoral pada mikroorganisme yang disebabkan oleh gangguan proses metabolik tubuh. Gangguan ini dikarenakan defisiensi konsumsi protein, lemak, vitamin, dan mineral, dan akan mempengaruhi maturasi serta fungsi dari sel-sel imun
– Kanker3
Pasien dengan kanker yang telah menyebar luas umumnya mudah terinfeksi mikroorganisme karena defek pada respons imun humoral dan selular. Tumor bone marrow dan leukemia yang muncul di sumsum tulang dapat menggangu pertumbuhan limfosit dan leukosit normal. Selain itu, tumor dapat memproduksi substansi yang menghambat perkembaangan atau fungsi limfosit, seperti pada penyakit Hodgkin. Dapat pula terjadi anergi, yaitu suatu kondisi dimana sistem imun tidak dapat menginduksi respon imun terhadap antigen.
– Infeksi1,3
Selain infeksi HIV, infeksi lain juga dapat menyebabkan kelainan respons imun, contohnya pada virus measles dan HTLV-1 (Human T-cell Lymphothropic Virus-1) yang keduanya menginfeksi limfosit. HTLV-1 merupakan retrovirus mirip HIV, akan tetapi HTLV-1 bekerja dengan mengubah sel T helper menjadi sel T neoplasma yang malignan, disebut juga ATL (adult T-cell Leukemia). HTLV-1 dapat menyebabkan berbagai infeksi oportunistik. Selain virus, infeksi kronik Mycobacterium tuberculosis, berbagai jenis fungi, dan berbagai jenis parasit dapat juga menyebabkan imunosupresi.
Sementara itu, terapi atau perlakuan lain yang dapat menyebabkan imunodefisiensi adalah :
– Pemberian obat1,3
Beberapa obat diberikan untuk menyupresi respon imun, seperti kortikosteroid dan siklosporin. Selain itu, kemoterapi pada penderita kanker juga memliki efek samping imunosupresi berupa efek sitotoksik pada limfositselama beberapa saat, sehingga pasien kanker yang baru menjalani kemoterapi akan mengalami satu periode dimana dia akan lebih mudah terinfeksi suatu mikroorganisme.
– Pengangkatan lien3
Seseorang yang mengalami pengangkatan lien sebagai terapi karena trauma atau kondisi hematologik dapat menyebabkan adanya peningkatan suspeksibilitas terhadap infeksi, terutama terhadap bakteri encapsulated seperti Streptococcus pneumoniae. Hal ini disebabkan oleh defek klirens mikroba teropsonisasi di darah yang semestinya dilakukan lien.
DaftarPustaka
- Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 8th Ed. 2010. Philadelphia : Elsevier. Pg.230-5
- Zubir Z. Konsep Imunodefisiensi. Diakses dari http://ocw.usu.ac.id/ pada tanggal 19 April 2012 pukul 19.09
- Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 7th Ed. 2012. Philadelphia : Elsevier. Pg.445-58