Preeklampsia dan Eklampsia, Komplikasi Berbahaya pada Kehamilan

Disusun oleh Johny Bayu Fitantra, S.Ked

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu dari kelainan tekanan darah tinggi yang terjadi pada kehamilan. Menurut National High Blood Pressure Education Program, kelainan hipertensi yang menjadi komplikasi pada kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu hipertensi gestasional (hipertensi pada kehamilan), sindrom preeklampsia dan eklampsia, sindrom preeclampsia pada hipertensi kronis dan hipertensi kronis. Angka kejadian dari kelainan-kelainan tersebut cukup tinggi, mencapai 5-10% dari kehamilan. Hal ini patut kita waspadai karena kelainan hipertensi tersebut merupakan salah satu dari triad kematian bersama dengan perdarahan dan infeksi. Preeklampsia dan eklampsia menjadi yang paling berbahaya.

Mengenali dan Mendiagnosis Preeklampsia

Terdapat beberapa hal yang dapat membantu kita untuk membedakan jenis-jenis hipertensi tersebut. Seseorang dapat kita curigai mengalami hipertensi sebagai komplikasi kehamilan apabila usia kehamilannya sudah mencapai 20 minggu atau lebih. Selanjutnya kita juga semestinya bisa mendapatkan riwayat adanya hipertensi pada saat sebelum hamil atau setidaknya sebelum usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Jika sebelumnya seseorang  sudah mengalami hipertensi, kita dapat menyingkirkan diagnosis sindrom preeklampsia dan hipertensi gestational. Namun, tetap ada kemungkinan seseorang mengalami sindrom preeklampsia dan eklampsia bersamaan dengan hipertensi kronis.

Tingginya tekanan darah kurang lebih sama dengan kriteria penentuan tekanan darah pada orang yang tidak hamil, yaitu ≥140 mmHg tekanan sistol atau ≥90 mmHg tekanan diastol. Pada seorang wanita hamil yang mengalami hipertensi padahal sebelum minggu ke-20 kehamilan tidak memiliki tekanan darah tinggi, yang perlu kita perhatikan berikutnya adalah kadar protein dalam darah. Jika tidak ada protein dalam darah (tidak ada proteinuria), kita dapat mengarahkan kecurigaan pada hipertensi gestasional. Sedangkan jika sampai terjadi proteinuria, kita dapat menyimpulkannya sebagai suatu preeklampsia. Proteinuria tersebut didefinisikan sebagai adanya kandungan protein ≥300 mg/24 jam pada urin atau +1 pada penggunaan dipstick. Baik pada hipertensi gestasional maupun preeklampsia, tekanan darah akan kembali normal paling lambat 12 minggu pasca persalinan. Oleh karena itu, jika tidak mengetahui riwayat hipertensi sebelumnya, diagnosis akhir dari hipertensi gestasional dapat kita lakukan pasca persalinan untuk dapat membedakan dengan hipertensi kronis. Orang dengan hipertensi gestasional juga dapat mengalami gejala-gejala seperti pada preeklampsia, yaitu rasa tidak enak pada epigstrium atau perut bagian atas dan trombositopenia atau turunnya kadar trombosit dalam darah.

Meskipun kriteria minimum dari preeklampsia sebagai mana dijelaskan di atas adalah adanya tekanan darah sistol ≥140 mmHg atau diastol ≥90 mmHg, serta proteinuria, tetap diperlukan beberapa temuan lain untuk menguatkan diagnosis kita, antara lain adalah:

  • Tekanan darah ≥160/110 mmHg
  • Proteinuria 2 gr/24 jam atau dipstick +2
  • Kreatinin serum >1,2 mg/dL
  • Platelet <100.000/uL
  • Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
  • Peningkatan kadar serum transaminase (ALT atau AST),
  • Sakit kepala persisten atau kelainan serebri atau penglihatan
  • Nyeri epigastrium persisten

Sementara itu, eklampsia dapat ditegakan apabila seorang wanita hamil yang mengalami preeklampsia juga kemudian mengalami kejang tanpa ada sebab lainnya. Kejang tersebut dapat terjadi pada saat sebelum, selama dan setelah persalinan. Wanita yang mengalami preeklampsia dan eklampsia seringkali mengalam edema terutama pada kaki sehingga dulu edema dimasukan sebagai salah satu kriterianya. Hanya saja, edema terlalu umum dan terlalu sering muncul pada kehamilan sehingga kriteria edema tidak lagi digunakan.

Jika seorang wanita sudah memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, kita dapat mengarahkan kecurigaan pada kasus preeklampsia superimposed pada hipertensi kronis (superimposed preeclampsia on chronic hypertension) maupun hipertensi kronis. Superimposed preeclampsia memiliki kriteria yang kurang lebih sama dengan kasus preeklampsia yaitu tekanan darah tinggi dan proteinuria. Yang membedakan adalah adanya riwayat hipertensi kronis sebelumnya atau tidak. Jika seseorang mengalami hipertensi dan proteinuria sejak sebelum minggu ke-20 kehamilan, superimposed preeklampsia dapat ditegakan apabila terjadi peningkatan mendadak pada kadar protein dalam urin atau tekanan darah atau hitung platelet kurang dari 100.000/uL. Sementara itu, hipertensi kronis dapat didiagnosis apabila tekanan darah di atas normal sejak sebelum kehamilan atau didiagnosis hipertensi sebelum minggu 20 kehamilan tanpa adanya kaitan dengan kelainan penyakit tropoblastik gestasional. Sementara itu, jika kita menemukan kasusnya setelah lewat 20 minggu kehamilan dan tidak menemukan adanya proteinuria, hipertensi kronis dapat didiagnosis setelah 12 minggu persalinan yang ditandai dengan tidak adanya penurunan tekanan darah menuju normal dengan diagnosis banding berupa hipertensi gestasional.

Patogenesis Preeklampsia, Mengapa Preeklampsia Terjadi?

Invasi Tropoblas yang Buruk pada Preeklampsia
Invasi Tropoblas yang Buruk pada Preeklampsia

Pada awal kehamilan atau trimester pertama dan kedua kehamilan, preeklampsia memang seringkali bersifat asimptomatik. Namun, pada saat itu sudah terjadi plasentasi yang buruk. Selanjutnya, adanya gangguan perdarahan pada plasenta dapat menyebabkan janin  kekurangan oksigen dan nutrisi hingga terjadi gangguan pertumbuhan janin. Jadi, meskipun tanda dan gejala dari preeklampsia baru muncul pada usia kehamilan di atas 20 minggu, sebenarnya perjalanan penyakitnya sudah dimulai jauh lebih awal. Oleh karena itu, tindakan pencegahannya memang semestinya dilakukan dari awal kehamilan.

Preeklampsia merupakan two stage disorder. Awal mula terjadinya preeklampsia sebenarnya sejak masa awal terbentuknya plasenta. Saat itu, terjadi invasi tropoblastik yang abnormal. Semestinya, pada kondisi normal, terjadi remodeling arteriol spiralis uterin pada saat diinvasi oleh tropoblas endovaskular. Sel-sel tersebut menggantikan endotel pembuluh darah dan garis otot sehingga diameter pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Sementara itu, pada preeklampsia terjadi invasi tropoblas yang tidak lengkap. Invasi terjadi secara dangkal terbatas pada pembuluh darah desidua tetapi tidak mencapai pembuluh darah miometrium. Padahal normalnya, invasi tropoblas mencapai miometrium. Pada preeklampisa, arteriol pada miometrium hanya memiliki diameter berukuran setengah lebih kecil dari yang plasentanya normal. Ditambah lagi, pada awal preeklampsia, terdapat juga kerusakan endotel, insudasi dari plasma ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis medial. Lipid dapat terkumpul pada sel miointimal dan di dalam makrofag. Akibat dari gangguan pembuluh darah tersebut, terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya pasokan oksigen dan nutrisi ke plasenta. Kondisi iskemia tersebut membuat plasenta mengeluarkan faktor-faktor tertentu yang dapat memicu inflamasi secara sistemik.

Ada beberapa kondisi utama yang terjadi pada kasus preeklampsia, yaitu vasospasme, aktivasi sel endotelial, peningkatan respon pressor.Juga, terdapat perubahan pada kondisi endotelin dan protein angiogenik serta antiangiogenik. Proses inflamasi yang terjadi secara sistemik memicu terjadinya vasospasme. Konstriksi pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi sehingga tekanan darah meningkat. Kerusakan pada sel endotel pembuluh darah juga menyebabkan kebocoran interstitial sehingga platelet dan fibrinogen terdeposit pada subendotel. Pada kondisi tersebut, seorang wanita yang preeklampsi akan mengalami gangguan distribusi darah, iskemia pada jaringan di sekelilingnya hingga mengakibatkan kematian sel, perdarahan, dan gangguan organ lainnya.

Sel endotel penderita preeklampsia tidak memiliki kemampuan yang baik dalam melepaskan suatu senyawa pemicu vasodilatasi, yaitu nitrit oksida. Selain itu, endotel tersebut juga menghasilkan senyawa pencetus koagulasi serta mengalami peningkatan sensitifitas terhadap vasopresor. Pada preeklampsia, produksi prostasiklin endotelial (PGI2) berkurang disertai peningkatan produksi tromboksan oleh platelet. Dengan begitu, rasio perbandingan dari prostasiklin : tromboksan berkurang. Hasil akhir dari semua kejadian tersebut adalah pembuluh darah menyempit, tekanan darah naik, cairan keluar dari ruang pembuluh darah. Jadi, meskipun pasien mengalami edema atau bengkak oleh cairan, sebenarnya dia mengalami kondisi kekurangan cairan di pembuluh darahnya.

Senyawa lain yang meningkat pada preeklampsia adalah endotelin. Endotelin merupakan suatu asam amino yang bersifat vasokonstriktor poten yang memang dihasilkan oleh endotel manusia. Peningkatan senyawa ini terjadi karena proses aktivasi endotel secara sistemik, bukan dihasilkan dari plasenta yang bermasalah. Pemberian mangnesium sulfat pada wanita preeklampsi diteliti mampu menurunkan kadar endotelin-1 tersebut.

Pada penyempurnaan plasenta, terdapat pengaturan tertentu pada protein angiogenik dan antiangiogenik. Proses pembentukan pembuluh darah plasenta itu sendiri mulai ada sejak hari 21 sejak konsepsi. Adanya ketidakseimbangan angiogenik pada preeklampsia terjadi karena terdapat produksi faktor antiangiogenik yang berlebihan. Hal ini memperburuk kondisi hipoksia pada permukaan uteroplasenta.

Patofisiologi Preeklampsia, Apa yang Terjadi pada Tubuh?

Terdapat beberapa gangguan berat pada fungsi kardiovaskular terutama terkait dengan peningkatan afterload karena adanya hipertensi, aktivasi endotelial dengan ekstravasasi cairan intravaskular terutama paru. Ventrikel kiri jantung juga dapat membesar.

Pada wanita normal, saat beberapa minggu terakhir usia kehamilan, volume darah dapat mencapai 5000 mL dibandingkan dengan 3500 mL pada orang tidak hamil. Namun, jika terjadi eklampsia, tambahan 1500 mL tersebut menjadi tidak ada. Hemokonsentrasi tersebut terkait dengan vasokonstriksi menyeluruh akibat aktivasi endotel ditambah kebocoran plasma ke ruang interstitial karena adanya peningkatan permeabilitas. Namun, pada preeklampsia, bisa saja tidak terjadi penurunan volume darah tersebut sesuai dengan derajat keparahannya. Jika hanya hipertensi gestasional, volume darah biasanya normal. Wanita dengan eklampsia memiliki sensitivitas yang rendah terhadap terapi cairan yang agesif sebagai upaya meningkatkan volume darah sesuai kadar pada kehamilan normal. Juga, penderita preeklampsia akan lebih sensitif terhadap kehilangan darah, seperti pada saat persalinan dibanding wanita normal.

Trombositopenia merupakan temuan yang umum dijumpai pada preeklampsia. Perubahan lain dapat berupa penurunan faktor-faktor pembekuan dari plasma, serta perubahan bentuk eritrosit dan hemolisis. Hemolisis dapat dipastikan dengan adanya peningkatan kadar laktat dehidrogenase. Hemolisis, peningkatan enzim hati serum dan penurunan platelet menjadi manifestasi dari sindrom HELLP.

Secara endokrinologi, kadar renin, angiotensin II, angiotensi 1-7 dan aldosteron pada wanita hamil normal, umumnya meningkat. Sementara itu, pada preeklampsia, kadarnya lebih rendah meski masih di atas orang tidak hamil.

Aliran darah ginjal dan GFR wanita hamil semestinya meningkat. Sementara pada preeklampsia justru menurun karena perubahan reversibel secara anatomis dan perubahan patofisiologis. Perubahan secara anatomis dapat berupa pembesaran glomerulus hingga 20% yang bersifat kurang pendarahan, serta lengkung kapiler yang berdilatasi dan berkontraksi. Sel endotel membengkak (glomerular capillary endotheliosis). Endotel yang membengkak ini seringkali menyebabkan sumbatan pada lumen kapiler. Juga, terdapat deposit protein dan material seperti fibrin pada subendotel. Penurunan GFR tersebut. juga terkait dengan penurunan volume plasma. Namun, penurunannya biasanya tidak sampai lebih rendah dari wanita yang tidak hamil.  Lebih jauh lagi, preeklampsia juga dapat menyebabkan acute tubular necrosis. Sementara itu, kadar sodium urine dan asam urat plasma meningkat.

Preeklampsia secara sistemik juga dapat menyebabkan gangguan pada hati berupa perdarahan serta efek-efek peningkatan tekanan darah yang berlebih, termasuk pada otak. Gejala-gejala seperti sakit kepala, skotomata, kejang, kebutaan hingga edema serebri yang luas menjadi efek berbahaya yang mungkin terjadi.

Penalataksanaan Preeklampsia dan Eklampsia, Bagaimana Menanganinya?

Preeklampsia

Pada preeklampsia yang ringan, yang penting untuk dilakukan adalah banyak istirahat seperti berbaring dan tidur miring. Makan-makanan yang bergizi, terutama yang tinggi protein dan rendah lemak. Jika diperlukan, dapat diberikan penenang seperti diazepam 3×2 mg atau phenobarbital 3×30 mg. Kondisi pasien sebaiknya dievaluasi setidaknya setiap minggu.

Jika kehamilan masih belum mencapai 37 minggu, dilakukan pengontrolan terhadap tekanan darah terlebih dahulu. Persalinan akan ditunggu hingga aterm apabila tekanan darah terkontrol dengan baik. Namun, jika tekanan darah tetap tidak terkontrol, dapat dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada usia kehamilan 37 minggu. Sementara itu, jika usia kehamilan sudah lebih dari 37 minggu, ditunggu persalinan spontan. Induksi dapat dipertimbangkan apabila sudah sesuai dengan hari perkiraan lahir.

Untuk preeklampsia berat, terdapat dua kriteria tatalaksana yaitu tatalaksana ekspektatif atau konservatif dan tatalaksana aktif. Tatalaksana ekspektatif atau konservatif dilakukan apabila usia kehamilan belum mencapai 37 minggu tanpa adanya gejala impending preeklampsia. Pasien sebaiknya dirawat inap. Kadar protein urin diperiksa setidaknya dua hari sekali. Pemeriksaan USG untuk menentukan atau memastikan usia kehamilan, pertumbuhan janin terganggu, kesejahteraan janin, plasenta dan air ketuban, perlu dilakukan.

Pasien mendapatkan terapi berupa infus ringer laktat atau bisa diganti dengan dekstrosa 5%. MgSO4 dapat diberikan untuk mencegah atau menangani kejang. Dosis awal diberikan 4 gram secara IM maupun IV. Pemberian secara IV dilakukan secara bolus pelan dalam 15 menit. Pasien biasanya akan merasa sedikit panas sehingga kita perlu memberitahukan terlebih dahulu pada pasien kemungkinan efek tersebut. Selanjutnya dosis dilanjutkan sebesar 1 gram setiap jam hingga 24 jam pasca pasien selesai persalinan. Antihipertensi dapat dipertimbangkan apabila tekanan darah >180/110 mmHg. Obat yang rutin diberikan antara lain adalah nifedipin dosis 10 mg. Diuretik hanya diberikan apabila pasien mengalami edema paru, gagal jantung kongestif, edema anasarka). Jika usia kehamilan sekitar 32-34 minggu, dapat diberikan glukokortikoid selama 2 hari untuk pematangan paru janin.

Persalinan wanita dengan preeklampsia berat dapat dilakukan secara pervaginam. Jika belum inpartu dapat ditunggu hingga kehamilan aterm. Jika sudah inpartu, maka proses persalinan dapat diteruskan. Pasien dapat pulang setelah dirawat selama sekitar 3 hari apabila gejala PEB sudah reda.

Sementara itu, penatalaksanaan secara aktif/agresif dipertimbangkan apabila terapi medikamentosa yang diberikan gagal, terdapat tanda dan gejala impending preeklampsia, gangguan fungsi hati dan ginjal, terdapat kecurigaan akan solusio plasenta dan adanya gejala in partu, perdarahan maupun ketuban pecah dini.

Kondisi janin juga perlu kita perhatikan, antara lain adalah jika usia kehamilan >37 minggu, terjadi pertumbuhan janin terganggu (pada pemeriksaan USG), NST non reaktif dan profil biofisik abnormal, oligohidramnion. Dari pemeriksaan laboratorium, hasil yang mengarahkan pada trombositopenia progresif yang mengarah pada sindroma HELLP menjadi indikasi tatalaksana aktif.

Cara persalinan tetap diutamakan pervaginam. Induksi dipertimbangkan jika belum in partu dengan mempertimbangkan skor bishop >8. Pematangan serviks dapat dilakukan dengan misoprostol. Induksi ini harus sudah dapat menghasilkan persalinan kala II dalam 24 jam. Jika tidak, perlu dilakukan SC. Sementara jika pasien sudah inpartu, lakukan pemantauan dengan partograf. SC dilakukan jika terdapat maternal distress dan fetal distress.

Penatalaksaan Eklampsia

Penatalaksaan eklampsia kurang lebih sama seperti preeklampsia. Hanya saja, pada kondisi ini kita perlu melakukan manajemen kejang. Dosis MgSO4 diberikan sebagaimana pada preeklampsia. Jika kejang berulang, dapat diberikan MgSO4 2 gr IV diberikan sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila masih kejang juga, dapat diberikan amobarbital 3-5 mg/kgBB IV perlahan. Pasien sebaiknya ditempatkan pada ruang isolasi dengan lampu terang. Posisi tempat tidur tidak boleh terlalu sempit yang mana dapat meningkatkan resiko jatuh. Posisi pasien diubah dengan kepala lebih tinggi. Kemungkinan adanya aspirasi harus diperhatikan. Jika perlu dilakukan aspirasi lendir dari orofaring.

Semua pasien yang mengalami eklampsia harus diterminasi kehamilannya, berapa pun usia kehamilannya. Terminasi dilakukan setelah dilakukan penstabilan kondisi pasien, yaitu sekitar 4-8 jam setelah pemberian obat anti kejang terakhir atau setelah pasien tidak kejang, atau setelah pemberian obat-obatan antihipertensi terakhir atau pasien sudah sadar. Jika janin masih hidup, SC dapat dipertimbangkan.

Referensi dan Bacaan Lebih lanjut

Cunningham FGet all. Williams Obstetrics. 23nd ed. USA: McGraw-Hill Comp. [e-book]

Kurniawati D, Mirzanie H. Obgynacea. Yogyakarta: Tosca Enterprise; 2009

 

Medicinesia

Sebuah website yang didedikasikan untuk mahasiswa kedokteran maupun ilmu kesehatannya lainnya di Indonesia.