Mekanisme Kompensasi Gagal Jantung Kongestif
Artikel ini sudah dibaca 62076 kali!
Mekanisme Hemodinamik dan Mekanik
Gagal jantung menunjukkan suatu penyakit jantung yang mempengaruhi struktur otot jantung. Permasalahan utama yang menyertai gagal jantung biasanya merupakan kemampuan pompa jantung yang menjadi tidak normal. Beberapa mekanisme kompensatorik yang semula merupakan langkah adaptasi bahkan dapat memperparah gagal jantung.
Afterload dan Relasi Laplace
Ciri khas gagal jantung yang mengalami dilatasi adalah berkurangnya sensitivitas jantung tersebut terhadap preload (volume akhir diastolik dan panjang serat otot jantung), serta lebih sensitif terhadap afterload. Afterload adalah total tekanan yang harus dikerjkan oleh jantung melawan faktor-faktor tertentu selama kontraksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi ejeksi jantung tersebut meliputi viskositas darah, resistansi vaskular, distensibilitas vaskular, dan tegangan dinding jantung, yang semuanya berpengaruh terhadap nilai afterload. Ketegangan dinding ventrikel meningkat seiring volume ruangannya meningkat, meskipun tekanan intraventrikularnya sediri konstan. Ketika isi ventrikel dikosongkan, tahanan tersebut menurun meskipun tekanannya meningkat. Hubungannya dapat dilihat dalam persamaan Laplace.
T = P X R
Keterangan:
T = tension (dyn/cm)
P = pressure (dyn/cm2)
R = radius (cm)
Pada dinding ventrikel yang tebal, ketegangan dindingnya didistribusikan ke serat-serat otot jantung. Dengan kata lain, nilai T diatas dapat dibagi dengan variabel h (ketebalan dinding jantung) untuk melihat distribusi tegangan di ruangan ventrikel tersebut.
Ada dua prinsip dasar dalam konsep Laplace ini:
1. Dilatasi ventrikel mengakibatkan peningkatan tension pada setiap serat otot jantung.
2. Peningkatan tebal dinding jantung menurunkan tension pada setiap serat otot. Akibatnya, hipertrofi ventrikel memiliki efek menurunkan afterload.
Endokardium memiliki nilai tegangan tertinggi karena kerjanya yang lebih berat, serta lebih rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di arteri koroner. Dilatasi pada jantung menurunkan efisiensi kardiak, kecuali jika terdapat hipertrofi yang mampu menormalkan ketegangan dinding jantung. Pada gagal jantung, tegangan atau tahanan pada dinding jantung tinggi, karena itu nilai afterload-nya meningkat.
Pada jantung normal, tegangan dinding jantung menurun drastis ketika ejeksi ventrikel, meskipun tekanan intrajantungnya sendiri meningkat (untuk mengeluarkan darah dari dalam ruangan). Sementara, pada gagal jantung, dengan kemampuan kontraktilitas yang berkurang serta adanya dilatasi ventrikel, kemampuan ejeksi jantung berkurang dan tegangan jantung tetap tinggi meskipun dalam keadaan sistolik.
Dilatasi ventrikel tersebut awalnya merupakan mekanisme adaptasi untuk mempertahankan stroke volume, namun kelamaan justru memperparah kondisi gagal jantung. Hal ini disebabkan dilatasi tersebut dapat berujung ada regurgitasi mitral dan trikuspidal. Sementara, sel miokardial yang teregang dapat menginduksi apoptosis yang memperparah penyakit.
Hukum Frank-Starling
Ketika fungsi ventrikel jantung melemah, hukum Frank-Starling bekerja. Menurut hukum Frank-Starling, pengosongan ventrikel yang tidak adekuat berujung pada peningkatan volume akhir diastole (EDV, end diastolic volume). Hal ini dinamakan peningkatan preload, sehingga isi sekuncup jantung akan meningkat pada kontraksi berikutnya. Dengan kata lain, kontraktilitas jantung berhubungan dengan perpanjangan sarkomer yang disebabkan karena meningkatnya volume akhir diastolik jantung. Pada ventrikel yang sakit, perpendekan otot setelah panjang serat diastolik serta afterload berkurang. Awalnya, ventrikel masih mampu mempertahankan stroke volume dengan nilai normal pada peningkatan volume EDV. Namun, setelah beberapa waktu, tekanan vena yang mengisi jantung (filling pressure) meningkat secara tidak teratur, sehingga kompensasi ini tidak bisa dilakukan.
Selain itu, karena mekanisme kompensasi otot jantung yang cenderung membuat dilatasi ventrikel, otot ventrikel mengalami relaksasi yang berlebihan atau overstretched. Hal ini menyebabkan ventrikel mampu menampung banyak end diastolic volume, namun tidak ada peningkatan pada LVEDP (Left Ventricle End-Diastolic Volume, untuk memompa ventrikel yang menghasilkan isi sekuncup). Hasilnya adalah penurunan nilai fraksi ejeksi (EF, ejection fraction; EF=SV/EDV).
Selanjutnya, kita perlu melihat lebih lanjut bentuk grafik Frank-Starling yang semakin lama semakin datar seiring EDV meningkat. Meskipun bentuk grafik Frank-Starling lebih mendatar, tidak ada garis yang menurun ditemui pada grafik ini. Hal ini disebabkan, peningkatan preload yang meningkatan nilai EDV akan berujung pada regurgitasi mitral. Seiring jantung mengalami dilatasi, peningkatan stress ke dinding jantung juga akan meningkatkan afterload, yang berujung pada reduksi nilai isi sekuncup. Dengan kata lain, tingginya nilai LVEDP dan inkompetensi katup menyebabkan penurunan cardiac output.
Gambar 1. Korelasi Tekanan Ventrikel Kiri, Afterload, dan Stroke Volume
Pada grafik di atas terlihat bentuk grafik Frank-Starling yang semakin mendatar pada keadaan gagal jantung. Pada kondisi normal, penurunan sedikit saja nilai LVEDP dapat berpengaruh besar terhadap nilai stroke volume (titik B dan C). Namun, setelah gagal jantung, penurunan nilai LVEDP menyebabkan sedikit saja penurunan stroke volume (titik E dan F). Lain halnya dengan nilai Afterload yang tidak terlalu menyebabkan perubahan drastis pada nilai stroke volume (titik A dan B), dimana penurunan afterload justru dapat meningkatkan nilai stroke volume (dalam keadaan normal). Namun, dalam kasus gagal ventrikular, ketika nilai afterload diturunkan, perubahan nilai stroke volume sangat drastis (titik D dan E).
Hipertrofi Miokard
Hipertrofi miokard merupakan mekanisme untuk mengadaptasi meningkatnya kebutuhan energi mekanik. Mekanisme ini merespons tingginya volume dan pressure load dari jantung. Volume dan pressure load tersebut merupakan salah satu akibat dari iskemia. Iskemia pada jantung menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung, dilatasi ventrikel, dan banyaknya volume darah yang harus dikompensasi miosit sehat. Namun, hipertrofi ini mampu menormalkan tegangan dinding jantung dan menyediakan banyak sarkomer yang menjadi elemen kontraktil jantung.
Hipertrofi pada jantung disebabkan oleh banyak hal, seperti deformasi sel jantung serta berbagai modulator. Modulator hipertrofi ini termasuk angiotensin II, norepinefrin, ion channel, serta growth factor. Hiperplasia dapat saja terjadi pada kondisi tertentu, seperti kehilangan miosit yang berlebihan. Namun, bentuk yang lebih umum dijumpai adalah penambahan unit sarkomer. Hiperplasia fibroblas juga dijumpai dengan rasio 3:1 hingga 4:1 dibanding hiperplasia miosit.
Mekanisme Adaptasi Non-Kardiak
Hipotesis Neurohumoral
Banyak neurohormon yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap gagal jantung. Atrial natriuretic peptide (ANP), BNP, dan C-type natriuretic peptide (CNP) dikategorikan sebagai counterregulator. Hal ini disebabkan, peptida tersebut bertugas menurunkan tekanan atrium kanan, resistansi vaskular sistemik, sekresi aldosteron, stimulasi simpatis, hipertrofi sel, dan ekskresi natrium.
Sebaliknya, efek predominan dari neurohormon adalah vasokonstriksi yang disertai retensi natrium dan air. Neurohormon-neurohormon tersebut terstimulasi karena jumlah cardiac output yang sedikit, sehingga pengisian arteri pun tidak di batas semestinya, terlebih jika diiringi vasodilatasi. Selain itu, akibat menurunnya tekanan darah, nilai stroke volume, serta perfusi (pada kasus gagal jantung), mechanoreceptor yang berada pada ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta, dan arteriola aferen ginjal teraktivasi. Aktivasi reseptor mekanik tersebut berujung pada teraktivasinya RAAS, sistem simpatis, dan pelepasan nonosmotik vasopressin. Mekanisme neurohormon ini memfasilitasi hipertrofi miosit dan sintesis kolagen. Namun, teraktivasinya sistem simpatis menyebabkan takikardia dan aritmia yang merupakan hal toksik bagi miokardium. Secara umum, persepsi neurohormon yang memperbaiki kondisi tubuh seakan-akan kekurangan cairan (hipovolemik) merupakan mekanisme yang menyebabkan kompensasi ini mampu memperparah gawat jantung.
Norepinefrin
Tanda dan gejala gagal jantung meliputi konstriksi vaskular, takikardia, diaforesis (berkeringat), dan oliguria. Seluruh gejala tersebut mirip dengan kondisi hiperadrenergik. Terlebih lagi, pada banyak kasus ditemui peningkatan norepinefrin plasma disertai deplesi simpanan norepinefrin miokard. Gagal jantung kelas IV klasifikasi New York Heart Association (NYHA) membutuhkan support katekolamin serta infus dobutamin untuk mempertahankan perfusi organ yang adekuat. Namun, efek simpatetik Norepinefrin dapat menjadi toksik untuk jantung, seperti yang dijelaskan dalam skema berikut:
Gambar 2. Efek Simpatis ke Gagal Jantung
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Seperti yang terlihat pada gambar 2, sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) memainkan peranan penting dalam patogenesis gagal jantung. Mekanisme-mekanisme yang memacu sistem ini bekerja pada kondisi gagal jantung termasuk stimulasi simpatis ke ginjal, perfusi hiponatremik ke makula densa pada apparatus jukstaglomerular, dan penggunaan diuretik serta diet renah natrium. Seluruh stimulasi tersebut menggambarkan seolah-olah tubuh berada dalam keaaan kontraksi volume atau hipovolemik.
Dalam aktivitas biologisnya, enzim yang memberikan efek paling menonjol adalah Angiotensin II yang setidaknya memiliki empat reseptor. Reseptor yang paling banyak menunjukkan aktivitas biologis adalah reseptor AT1. Efek yang ditimbulkannya meliputi vasokonstriksi arteri, pertumbuhan sel, apoptosis miosit, polidipsi, pelepasan norepinefrin, sensitisasi pembuluh darah terhadap norepinefrin, serta pelepasan vasopressin dan aldosteron. Efek-efek tersebut nantinya akan meningkatkan resistansi vaskular perifer yang mampu menurunkan fraksi ejeksi jantung (lihat gambar 2).
Salah satu pemicu diaktifkannya sistem RAAS, hiponatremia, merupakan akibat dari pelepasan nonosmotik vasopressin. Pelepasan nonosmotik ini disebabkan oleh aktifnya baroreseptor carotid. Dengan adanya vasopressin, terbentuklah aquaporine-2 di permukaan apikal duktus kolektivus, sehingga terjadilah retensi air yang memiliki efek menaikkan resistensi vaskular perifer dan disfungsi miokard.
Retensi air dan garam yang menjadi inti dari patofisiologi gagal jantung akibat neurohumoral ini menjadi salah satu masalah tatalaksana gagal jantung. Namun, mekanismenya sendiri pada awal patogenesis penyakit, dimana belum dijumpai penurunan cardiac output yang signifikan belum diketahui. Penurunan cardiac output pada stage awal gagal jantung belum ditemui karena masih bekerjanya sistem kompensatorik dan diaktifkannya counterregulatory hormones (ANP, BNP, CNP) yang bertugas untuk membuang air serta garam. Namun, pada stage akhir, ketika sistem RAAS sudah diaktifkan, banyak masalah yang terjadi. Salah satunya adalah berusaha dipertahankannya nilai GFR oleh Angiotensin II (karena hormon tersebut menganggap tubuh sedang hipovolemik) meskipun perfusi renal sangat tidak adekuat. Selain itu, diaktifkannya aldosteron menyebabkan retensi natrium dan kehilangan kalium dalam jumlah besar.
Disfungsi Endotel
Disfungsi endotel banyak dijumpai pada kasus gagal jantung, hipertensi, aterosklerosis, hiperhomosisteinemia, resistansi insulin, dan hiperkolesterolemia. Disfungsi endotel tersebut (contohnya adalah gagalnya pembuluh darah untuk bervasodilatasi meskipun ada vasoaktif yang memiliki efek vasodilator) disebabkan oleh berkurangnya lepasan Nitrit Oksida (NO). Seharusnya, nilai basal lepasan NO harus dipertahankan untuk mengkompensasi teraktivasinya sistem vasokonstriktor. Namun, akibat adanya disfungsi endotel ini, pembuluh darah tidak bisa mengalami vasodilatasi saat dibutuhkan. Akibatnya, beberapa pasien gagal jantung mengalami exercise intolerance karena kurangnya suplai ke otot rangka saat demand-nya banyak.
Gambar 3. Mekanisme Kompensasi pada Gagal Jantung Kongestif (klik gambar untuk memperbesar)
Disusun oleh Alia Nessa Utami
1. Fuster V, Alexander RW, O’Rouke RA, et al. Hurst’s The Heart Eleventh Edition. 2004. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12. Asia: John Wiley & Sons, inc; 2009; h.325-326.
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.76-85.
Sumber Gambar:
(1, 2, 3) Fuster V, Alexander RW, O’Rouke RA, et al. Hurst’s The Heart Eleventh Edition. 2004. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.