Anemia Defisiensi Besi
Artikel ini sudah dibaca 83435 kali!
Pucat merupakan salah satu tanda khas terjadinya anemia. Untuk memastikan pucat disebabkan oleh gangguan kadar hemoglobin dalam darah atau karena seseorang sedang takut (terutama anak-anak), kita dapat memeriksa konjungtiva dan telapak tangan. Konjungtiva akan nampak berwarna keputihan, bukannya kemerahan. Sementara itu, telapak tangan dapat kita bandingkan dengan telapak tangan kita apabila kita sudah memastikan bahwa kadar hb kita memang normal atau bandingkan dengan telapak tangan orang lain yang memang normal. Setiap kali terdapat kecurigaan anemia, kita dapat memikirkan adanya tiga jenis kemungkinan penyebabnya yaitu adanya gangguan pada produksi sel darah, gangguan destruksi (hemolisis) dan kehilangan darah (baik yang tampak nyata atau perdarahan samar yang terjadi secara kronis).
Anemia defisiensi besi itu sendiri merupakan anemia yang disebabkan karenya adanya gangguan pada produksi hemoglobin akibat kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis. Lebih dari setengah kasus anemia disebabkan oleh anemia defisiensi besi tersebut. Di Indonesia, anemia jenis ini menjadi bagian dari masalah gizi selain kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.
Selain mengalami gangguan produksi hemoglobin, orang yang mengalami anemia defisiensi besi juga dapat menunjukan gejala terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan (terutama pada anak-anak) dan sering sakit karena daya tahan tubuh kurang. Juga, dapat terjadi gangguan produktivitas kerja maupun konsentrasi. Dampak merugikan dari kekurangan besi meliputi masalah pada sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat seluler.
Dalam tubuh orang dewasa, terdapat zat besi sebanyak 53 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Sementara untuk bayi baru lahir terdapat sekitar 0,5 gram. Sekitar 67% -nya berada dalam bentuk hemoglobin, 30% dalam bentuk cadangan feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Sekitar 0,07% dalam bentuk transferin dan 0,2% dalam bentuk enzim. Feritin bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan pada sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Apabila asupan besi dari makanan tidak memadai, cadangan besi ini akan digunakan.
Kebutuhan besi untuk anak-anak adalah 0,8-1,5 mg Fe setiap hari. Namun, tingkat absorpsi besi dari makanan maksimal hanya 10%. Oleh karena itu, makanan harus mengandung setidaknya 8-10 mg Fe per hari. Anak yang mendapatkan ASI lebih sedikit mengalami kekurangan Fe karena besi yang didapatkan dari ASI lebih mudah diabsorpsi dibandingkan dari susu sapi. Dengan begitu, asupan besi yang diperlukan dari makanan lain juga lebih sedikit. Namun, pada bayi tetap dibutuhkan makanan yang diperkaya besi sejak usia 6 bulan. ASI saja tidak cukup. Oleh karena itu, pada anak, upaya pencegahan defisiensi besi dapat dilakukan dengan pemberian ASI eksklusif, menunda pemberian susu sapi sampai usia 1 tahun (berkaitan dengan adanya resiko perdarahan samar pada bayi), pemberian makanan yang mengandung besi serta asam askorbat (jus buah) pada saat mengenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan), memberikan suplementasi besi pada bayi kurang bulan, serta pemberian pendamping ASI (susu formula) yang mengandung besi.
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu jumlah zat besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan, dan penyerapan oleh mukosa usus. Penyerapan besi dalam usus dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme, yang mana 90% berasal dari makanan. Besi non heme pada makanan adalah berupa besi inorganik (feri/Fe3+). Bentuk besi ini penyerapannya tergantung pada vitamin C, asam lambung dan asam amino untuk kemudian mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe2+). Melalui cara ini, besi harus diubah menjadi bentuk yang diserap.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam mukosa, ikatan tersebut akan terlepas. Apotransferin kembali ke lumen usus sedangkan besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin. Besi yang tadinya sudah diubah menjadi bentuk fero kembali diubah menjadi feri untuk bisa berikatan. Besi yang tidak diikat akan ke aliran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum. Dalam serum, besi diangkut oleh transferin ke jaringan hati, limpa, dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Di dalam sumsum tulang, sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) kemudian bersenyawa dengan porfirin membentuk heme. Heme bersenyawa dengan globulin membentuk hemoglobin. Setelah berumur sekitar 120 hari, fungsi eritrosit akan menurun, kemudian dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin akan didegradasi menjadi biliverdin dan besi. Biliverdin direduksi menjadi bilirubin sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan kembali mengikuti siklus seperti di atas atau tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoiesis.
Penyerapan besi paling bagus terdapat pada duodenum hingga pertengahan jejunum. Makin ke arah distal, penyerapan makin berkurang. Terkait dengan pengubahan bentuk besi menjadi yang dapat diserap, penyerapan besi non heme meningkat jika dikonsumsi bersamaan dengan asam askorbat, daging, ikan, dan unggas. Sementara itu, penyerapan akan berkurang jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan yang mengandung asam tanat seperti teh dan kopi, kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan seperti antasid, tetrasiklin dan kolestiramin.
Sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% dari makanan) yang mana besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung, atau zat makanan yang dikonsumsi. Besi hem dalam lambung akan dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim protease. Besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke mukosa usus secara utuh. Selanjutkan hemin dipecah menjadi ion feri bebas dan porfirin oleh enzim hemeoksigenase. Selanjutnya ion feri ini akan mengalami siklus penggunaan besi seperti di atas.
Terjadinya anemia defisiensi besi dipengaruhi oleh bermacam faktor seperti kebutuhan yang meningkat secara fisiologis pada masa pertumbuhan dan menstruasi, kurangnya besi yang diserap seperti karena masukan besi dari makanan tidak adekuat atau terjadi malabsorpsi besi, perdarahan, transfusi feto-maternal, hemoglobinuria, iatrogenic blood loss, idiopathic pulmonary hemosiderosis, dan latihan yang berlebihan.
Penyebab anemia defisiensi besi menurut umur adalah sebagai berikut.
- Kurang dari tahun: persediaan besi kurang antara lain karena berat lahir rendah atau lahir kembar, ASI eksklusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemia selama kehamilan
- Umur 1-2 tahun: masukan besi kurang karena tidak mendapat makanan tambahan (hanya minum susu), kebutuhan meningkat karena infeksi berulang, malabsorpsi,
- Umur 2-5 tahun: Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang atau menahun, kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena divertikulum merkel.
- Umur 5 tahun-remaja: kehilangan besi karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan poliposis
- Remaja-dewasa: pada wanita, terutama karena menstruasi berlebihan.
Anemia defisiensi besi merupakan proses yang terjadi secara kronis yang mana terjadi keseimbangan negatif yang menetap sehingga cadangan besi terus berkurang. Terdapat tiga tahapan defisiensi besi yaitu tahap iron depletion atau storage iron deficiency, iron deficient erytropoietin atau iron limited erytropoietin dan iron deficiency anemia. Pada tahap pertama, hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal tetapi cadangan besi sudah berkurang bahkan tidak ada. Peningkatan absorpsi besi non heme meningkat. Feritin turun, sedangkan pemeriksaan lainnya masih normal.
Pada tahap kedua, suplai besi tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Pada pemeriksaan lab, besi serum sudah menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. Sementara itu, pada tahap akhir atau anemia defisiensi besi, besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga kadar hemoglobin akan menurun. Gambaran darah tepi dari sel darah merahnya adalah mikrositik hipokrom.
Perbandingan antara FE serum dengan TIBC menunjukan saturasi transferin yang dapat menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang. Saturasi transferin kurang dari 16% menunjukan suplai besi yang tidak adekuat untuk menunjang eritropoiesis. Jika kurang dari 7%, diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakan. Sementara itu, jika berada di antara 7 dan 16%, anemia defisiensi besi dapat ditegakan apabila nila MCV rendah atau terdapat pemeriksaan lain yang mendukung.
Kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui pula dengan pemeriksaan free erytrocyte protoporphyrin (FEP). Sebelum besi terikat untuk membentuk heme, pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin. Oleh karena itu, jika besi tidak adekuat, protoporfirin bebas akan menumpuk di sel karena tidak digunakan. Nila FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukan adanya anemia defisiensi besi. Pemeriksaan FEP bermanfaat untuk mendeteksi adanya anemia defisiensi besi secara lebih dini.
Sementara itu, cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan pemeriksaan feritin serum. Bila kadar feritin <10-12 ug/dl sudah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh. Selain itu, apabila dilakukan pemeriksaan ausan sumsum tulang, pada anemia defisiensi besi terdapat hiperplasia sistem eritropoietik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat dilakukan pewarnaan prussian blue.
Gejala dan tanda yang dapat muncul pada anemia defisiensi besi antara lain adalah pucat. Pada kadar Hb 6-10 g/dl, kompensasi masih dapat terjadi secara efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Namun, bila sudah kurang dari 5, terjadi gejala iritabel dan anoreksia secara lebih jelas. Anemia yang terjadi terus menerus daat menimbulkan terjadinya takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Akan tetapi, ada pula orang dengan Hb kurang dari 3-4 g/dl yang tidak mengalami keluhan karena tubuh sudah melakukan kompensasi. Oleh karena itu, gejala anemia defisiensi besi sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Gejala lain yang muncul terkait dengan kelainan non hematologi di antaranya adalah perubahan pada epitel yang menunjukan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf, atau spoon shaped nail), atrofi papila lidah, postericoid oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus. Intoleransi terhadap latihan atau kerja, tidak mampu mempertahankan suhu tubuh normal saat udara dingin, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun karena fungsi leukosit yang tidak normal.
Bagaimana Penatalaksaan Anemia Defisiensi Besi?
Untuk dapat menatalaksana secara efektif, kita harus dapat mengidentifikasi penyebab dari defisiensi besi tersebut. Namun, karena memang sudah terjadi kondisi defisiensi, kita tetap harus memberikan suplementasi besi. Pemberian preparat besi dapat dilakukan secara per oral maupun parenteral.
Garam ferous tiga kali lebih baik absorpsinya dibandingkan garam feri. Preparat tersedia dalam bentuk ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang paling sering digunakan adalah ferous sulfat karena harganya lebih murah. Dosis besi yang diperlukan untuk terapi adalah 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Perlu diingat bahwa dosis tersebut didasarkan pada besi elemetal yang dapat berbeda-beda pada masing-masing sediaan. Besi elemental pada ferous sulfat adalah 20%.
Konsumsi tablet besi paling bagus dilakukan saat lambung kosong, yaitu di antara dua waktu makan. Namun, jika terjadi efek samping gastrointestinal yang tidak nyaman, suplementasi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meski dapat mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%,. Suplemen diberikan 2-3 dosis sehari.
Pemberian besi diberikan hingga kadar Hb normal dilanjutkan sampai cadangan besi terpenuhi. Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan Hb dan retikulosit seminggu sekali serta pemeriksaan besi serum dan feritin sebulan sekali. Untuk mengisi cadangan besi, suplementasi besi perlu dilanjutkan hingga 2 bulan setelah anemia teratasi. Selama masa 2 bulan tersebut, pemeriksaan besi serum dan feritin rutin tidak perlu dilakukan.
Sementara itu, untuk pemberian preparat besi secara parenteral, kebutuhannya dapat dihitung dengan rumus: dosis besi= BB x kadar Hb yang diinginkan x 2,5. Namun pemberian secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal sehingga kurang populer. Selain itu, dapat terjadi limfadenopati regional dan reaksi alergi. Ditambah lagi, kemampuan meningkatkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral. Namun, preparat ini dapat diberikan apabila seseorang tidak dapat memakan obat peroral atau adanya gangguan pencernaan sehingga kebutuhan besi tidak akan tercukupi jika hanya diberikan peroral. Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi yang mengandung 50 mg besi/ml.
Transfusi darah juga menjadi salah satu pilihan terapi pada anemia defisiensi besi. Namun, jarang sekali diperlukan. Transfusi hanya diberikan pada kondisi anemia yang sangat berat disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Pemberian transfusi harus memperhatikan pula kondisi hipervolemia dan dilatasi jantung sehingga tidak perlu diberikan secepatnya. Di RSCM, transfusi darah diberikan apabila Hb kurang dari 6 g/dl atau lebih dari 6 g/dl disertai lemah, gagal jantung, infeksi berat atau akan menjalani operasi.
Secara umum, anemia dengan Hb <4g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB per satu kali pemberian disertai diuretik seperti furosemid. Jika terjadi gagal jantung yang jelas, dapat dilakukan trasnfusi tukar.
Referensi:
Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak: Anemia Defisiensi Besi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. P. 30-42.Panduan Pelayanan Medis Departemen llmu Penyakit Anak: Anemia Defisiensi Besi. Jakarta: RSUP Nasional CIptomangunkusumo; 2007. P. 127-30.