Anemia Pada Penyakit Kronik

Artikel ini sudah dibaca 13455 kali!

Oleh Herliani Dwi Putri Halim

Kebanyakan pasien yang menderita penyakit kronik mengalami anemia. Anemia ini ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, kadar transferin yang rendah atau normal, dan kadar feritin yang normal atau tinggi. Disamping itu, kadar hemoglobin berkisar antara 7-12 g/dL.1  Anemia jenis ini paling sering ditemukan pada pasien lupus eritematosus.2  Kini, anemia pada penyakit kronik disebut pula anemia inflamasi (AI) akibat ditemukan gejala yang sama tanpa disertai penyakit kronik pada orang yang lebih tua. Prevalensi AI menduduki peringkat ketiga setelah anemia defisiensi besi dan talasemia.1

Etiologi dan Patogenesis

Patofisiologi Anemia Pada Penyakit Kronik

 

Sumber: http://fracp.bigpondhosting.com/images/anaemiaofchronicdisease.jpg. Diakses pada 16 Mei 2012, pk. 22.00 WIB.

Secara garis besar, AI dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:

1.Infeksi: AIDS/ HIV, tuberkulosis, malaria, osteomielitis, abses kronik, dan sepsis,

2.Inflamasi: arthritis rheumatoid, kelainan reumatologi, inflammatory bowel disease, sindrom respons inflamasi sistemik,

3.Keganasan: karsinoma, myeloma multipel, limfoma,

4.Disregulasi sitokin: anemia akibat penuaan.1

Penyebab utama dari AI adalah ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit.1  Ciri khas dari AI adalah disregulasi homeostasis besi dimana terjadi pengambilan dan penyimpanan besi melalui sistem retikuloendotelial. Dengan demikian, jumlah besi untuk sel progenitor eritroid dan eritropoeisis tidak memadai.3

Mekanisme pasti dari AI masih belum dimengerti. Dari beberapa penelitian, AI pada arthritis rheumatoid melibatkan banyak faktor seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi yang terikat kuat dengan protein, penurunan respons eritropoeitin, dan efek supresif interleukin dalam eritropoeisis.2

Adapun patogenesis dari AI adalah:

1.Destruksi eritrosit yang disebabkan oleh aktivasi faktor pejamu seperti makrofag yang memfagosit yang eritrosit secara prematur. Hal ini ditandai dengan ditemukannya eritrosit muda dalam jumlah besar. Keterlibatan faktor ekstrinsik seperti toksin bakteri dan pengobatan belum diketahui.1

2.Resistensi dan inadekuasi eritropoetin. Penurunan produksi eritropoetin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti  TNF alfa dan interleukin 1. Inhibisi ini diperantarai oleh GATA 1 pada promoter eritropoetin.  Disamping itu, berdasarkan penelitian, terjadinya resistensi dibuktikan melalui pasien dengan kadar eritropoetin yang tinggi,  memiliki hemoglobin yang  rendah.1

3.Keterbatasan besi sehingga menghambat eritropoeisis. Hal ini dapat disebabkan oleh:

  • Pengeluaran sitokin inflamasi yaitu IL-6 merangsang pengeluaran hepsidin . Hepsidin ini akan menginduksi internalisasi serta degradasi ferroportin, transpor keluar besi. Oleh karena itu, pengeluaran hepsidin akan menghambat pengeluaran besi dari makrofag, hepatosit, dan enterosit. Pada akhirnya, akan terjadi hipoferemia.
  • Inhibisi absorpsi besi pada usus oleh IL-6 dan hepsidin selama inflamasi. Setiap hari, 1-2 mg besi yang berasal dari makanan dibutuhkan untuk eritropoeisis.
  • Keterbatasan besi menyebabkan protoporfirin yang seharusnya berikatan dengan besi untuk membentuk heme, lebih cenderung mengikat zinc. Oleh karena itu, kadar protoporfirin-zinc meningkat pada pasien AI.1,3

4.Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama oleh efek inhibisi interferon gamma. Selain itu, sitokin seperti NO yang diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.3

 Manifestasi Klinis

Gejala berupa pucat, sesak napas, dan sakit kepala.4 Namun, pada anemia moderat dengan Hb<10 g/dL akan menimbulkan gejala penyakit jantung iskemik atau penyakit respiratorik, kelelahan, dan intoleransi terhadap aktivitas berat. Namun, diagnosis baru dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium.1

 Pemeriksaan Laboratorium

Gambaran apus darah tepi menunjukkan sel yang normositik dan normokrom yang seiring keparahan penyakit menjadi mikrositik dan hipokrom. Selain itu, ditemukan pula:

  • Hitung absolut retikulosit adalah normal atau sedikit meningkat,
  • Hipoferemia yaitu penurunan konsentrasi besi serum yang muncul beberapa jam dari onset infeksi atau inflamasi yang parah,
  • Penurunan konsentrasi transferin membedakan AI dengan anemia defisiensi besi.  Hal ini berdampak pada penurunan TIBC (total iron binding capacity). Penurunan transferin ini terjadi lebih lama daripada konsentrasi besi serum karena perbedaan waktu paruh dimana besi 90 menit dan protein transferin  8-12 hari.
  • Peningkatan feritin serum membedakan AI dengan anemia defisiensi besi. Feritin merupakan protein fase akut sehingga sintesisnya meningkat pada saat inflamasi atau infeksi. Apabila diagnosis anemia masih belum jelas, dapat dilakukan pemeriksaan reseptor transferin yang larut yang kadarnya menurun pada infeksi atau inflamasi.
  • Pewarnaan besi sumsum dengan prusian blue  bertujuan untuk melihat kandungan dan distribusi besi. Pewarnaan ini dapat mewarnai makrofag dan sideroblas, eritrosit berinti yang memiliki 1-4 badan inklusi berisi besi. Pada AI, besi di dalam sideroblas menurun sedangkan dalam makrofag meningkat. Meskipun dapat dijadikan baku emas dalam membedakan anemia defisiensi besi dan AI, ketidaknyamanan pasien membuat pemeriksaan ini jarang digunakan.1,2

 

Table 1.Perbandingan Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Anemia Defisiensi Besi dengan Anemia Inflamasi 1
  IDA (n = 48) AI (n = 58) COMBI (n = 17)
Hemoglobin (g/liter) 93 ± 16 (96) 102 ± 12 (103) 88 ± 20 (90)
MCV (fl) 75 ± 9 (75) 90 ± 7 (91) 78 ± 9 (79)
Besi(mol/L) [10–40] 8 ± 11 (4) 10 ± 6 (9) 6 ± 3 (6)
Transferin (g/liter) [2.1–3.4m, 2.0–3.1f] 3.3 ± 0.4 (3.3) 1.9 ± 0.5 (1.8) 2.6 ± 0.6 (2.4)
Saturasi Transferin (%) 12 ± 17 (5.7) 23 ± 13 (21) 12 ± 7 (8)
Feritin (g/L) [15–306m, 5–103f] 21 ± 55 (11) 342 ± 385 (195) 87 ± 167 (23)
TfR (mg/L) [0.85–3.05] 6.2 ± 3.5 (5.0) 1.8 ± 0.6 (1.8) 5.1 ± 2.0 (4.7)
TfR/log feritin 6.8 ± 6.5 (5.4) 0.8 ± 0.3 (0.8) 3.8 ± 1.9 (3.2)

 Terapi

Apabila diagnosis AI telah ditegakkan, pengobatan  terhadap penyakit yang mendasari dapat mengatasi anemia.  Namun, jika pengobatan tersebut tidak efektif, maka pengobatan spesifik untuk anemia dapat dilakukan. Transfusi darah baru dilakukan untuk kasus yang parah. Kini, diberikan pula kombinasi EPO dengan besi. Tujuannya adalah peningkatan produksi eritrosit dapat diimbangi oleh kadar besi di dalam darah.  Namun, pemberian besi sendiri dilakukan apabila kadar besi pasien rendah. Hal ini disebabkan oleh besi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.1,4

Tabel 2. Pengobatan AI1
Modalitas Indikasi Keadaan Tipikal Risiko dan Efek Samping Keuntungan
Transfusi Iskemia kardiak

Kurangnya respons terhadap modalitas lain

Hb <10 g/dl

Nyeri dana dan perubahan EKG

Infeksi

Kelebihan volume

Reaksi transfusi

Mengoreksi cepat anemiaa
Eritropoetin  (EPO) Kelelahan, intoleransi terhadap aktivitas berat Hb <10 g/dl

Hb 10–12 g/dl

Gejala anemia

 Respons beberapa minggu

Aplasia eritrosit jarang dengan beberapa bentuk EPO

Kanker

Mahal

Umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dan relatif aman
Besi (oral  atau parenteral)  Koeksistensi defisiensi besi

Resistensi terhadap EPO

Diduga defisiensi besi Efek gastrointestinal (oral)

Reaksi sistemik dan lokal (parenteral)

Menurunkan resistensi terhadap infeksi

Murah, dan relatif aman

 Referensi:

1Litchman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT.  Anemia of chronic disease. In Williams Hematology.  7th ed. USA: Mc.Graw-Hill: 2009, chapter 43.

2Djoerban Z. Kelainan hematologi pada lupus eritematosus sistemik. Dalam  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal.1178.

3Weiss G, Goodnough LT. Anemia in chronic disease. N Engl J Med. 2005; 352:1011-1023.

4 Gardner LB, Benz Jr . Anemia of chronic diseases. In Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia:  Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 37.

Medicinesia

Sebuah website yang didedikasikan untuk mahasiswa kedokteran maupun ilmu kesehatannya lainnya di Indonesia.